Beberapa tahun belakangan ini tingkat perceraian di kalangan masyarakat semakin meningkat. Bahkan ironisnya, berita perceraian seperti berita yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Mulai dari para pejabat, pemuka agama, pengusaha hingga masyarakat kecil pun melakukan hal ini.
Perceraian tidak mengenal strata atau status sosial para pelakunya. Ini terjadi karena ada orang-orang yang awalnya dipersatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi di tengah jalan suami istri ini mengalami masalah yang tidak terselesaikan dan akhirnya mereka memutuskan hidup sendiri-sendiri.
Kehidupan rumah tangga Kristiani pun tidak lepas dari bahaya ini dan malah bisa dikatakan sangat rentan untuk digoyang-goyangkan oleh si jahat. Pertanyaannya, apakah orang Kristen benar-benar tidak boleh bercerai? Atau sebenarnya sekarang ini boleh saja bercerai, tapi dengan harus memenuhi berbagai persyaratan dahulu? Apa kata Alkitab tentang suami istri yang sudah bercerai?
Sebelum masuk membahas mengenai perceraian, ada baiknya kita mengetahui konsep pernikahan terlebih dahulu secara singkat. Pendeta Jimmy Papilaya, Konselor di CBN Indonesia yang banyak menangani masalah rumah tangga Kristiani maupun non-Kristiani mengungkapkan bahwa pernikahan Kristiani adalah sesuatu yang sakral. Alkitab menuliskan barang siapa yang sudah menikah maka tidak ada satu pun orang yang dapat memisahkan (Matius 19:6). Di bagian Alkitab yang lain dituliskan bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Sudah sangat jelas bahwa perceraian antara seorang suami dengan istri bukanlah kehendak Allah, tetapi adalah keinginan manusia.
Sebelum terjadinya perceraian, biasanya ada beberapa tahapan yang dialami oleh pasangan suami istri di dalam kehidupan rumah tangga mereka: 1. ketidakcocokkan dalam pernikahan; 2. Merasa gagal untuk membereskan kemelut itu; 3. terlibat dalam satu siklus pertengkaran yang tidak kunjung selesai; 4. Kalau sudah sampai pada titik ini biasanya kita menyerah; 5. masing-masing pasangan akan menjadi masa bodoh, mendiamkan; 6. Rasa sakit yang berkepanjangan dan tak tertahankan. Inilah yang seringkali menjadi pencetus atau pendorong orang untuk bercerai.
Menurut pendeta yang sempat menggembalai suatu gereja selama 13 tahun tersebut, sebenarnya untuk menjauhkan perceraian dari kehidupan pasangan suami istri kuncinya adalah keterbukaan. Tanpa ada rasa keterbukaan diantara masing-masing pasangan maka celah untuk terjadinya gesekan akan semakin terbuka lebar. Kesediaan untuk mendengarkan dan mau berubah jika memang harus dilakukan adalah sebuah langkah positif untuk melanggengkan pernikahan.
Apabila semua hal yang dilakukan kedua pasangan telah dicoba dan tetap hubungannya tidak lancar, maka dianjurkan baik suami maupun istri mencari bantuan kepada para pendeta, konselor, penasihat pernikahan. Walaupun kita merasa bahwa kita tidak bersalah dan pasangan kita yang bersalah tetap carilah pertolongan. Satu hal lagi yang tak boleh masing-masing pasangan suami istri yang sedang berselisih lupakan yakni, harus tetap kuat di dalam Tuhan.
Bagaimana bila suami istri itu akhirnya bercerai? Rasul Paulus menganjurkan untuk orang-orang seperti ini agar tidak menikah dan tetap pada posisinya sebagai janda atau duda.(I Korintus 7:8), tetapi bila tidak dimungkinkan hidup sebagai single parents maka orang yang bercerai itu dapat menikah dengan pasangan yang telah dipilihnya (ayat 9). Walaupun ada pernyataan seperti ini harus digarisbawahi bahwa di dalam kekristenan pernikahan adalah satu kali untuk selamanya.
Apa yang terjadi di dunia pernikahan selalu mempunyai korelasi dengan pada saat masa mereka saling mengenal (pacaran). Oleh karenanya, diperlukan kehati-hatian dari umat Kristiani yang hendak menjalin kasih. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui orang Kristiani yang sedang memasuki tahap pendekatan dengan lawan jenisnya:
1.Pasangan kita haruslah orang yang lahir baru sama seperti kita yang sudah lahir baru. (II Korintus 6: 14- 15).
2. Yakin kan diri kita bahwa pasangan kita ini adalah pasangan yang telah dipersiapan Allah dari semula untuk diri kita.
3. Keduanya harus bisa saling menerima kebiasaan masing-masing.